Iklan 728x90 inSastra.com

Lomba Sastra

Sunan Bonang, Syiar dan Syair

Sunan Bonang, Syiar dan Syair


Sunan Bonang merupakan seorang ulama besar yang berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Di balik kesuksesan beliau dalam menyebar luaskan ajaran agama, terdapat beberapa strategi jitu yang dijadikan upaya untuk menarik hati rakyat. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan seni kesusastraan sebagai media dakwah. Syair yang diketahui digubah oleh Sunan Bonang dan dikenal luas oleh masyarakat hingga saat ini salah satunya adalah syair Tombo Ati (obat hati).


Daftar Isi [Sembunyikan]




Perjalanan Hidup Sunan Bonang

Kelahiran Sunan Bonang, 1465

Gerbang Makam Sunan Ampel
Gerbang Makam Sunan Ampel
(Sumber: Surabaya.go.id)

Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau lahir di Surabaya pada tahun 1465 masehi. Bapaknya adalah  Sunan Ampel atau Raden Muhammad Ali Rahimatullah. Sementara ibunya adalah Dewi Condrowati atau Nyai Ageng Manila. 

Bapak dari Sunan Bonang, Sunan Ampel, juga dikenal sebagai salah satu dari Wali Songo yang mendirikan pondok pesantren di daerah Ampeldenta. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa Sunan Ampel merupakan anak dari Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Sedangkan pendapat lainnya menyebutkan bahwa Sunan Ampel dan Sunan Gresik adalah kerabat. 

Ibu dari Sunan Bonang, Dewi Condrowati atau Nyai Ageng Manila, merupakan putri dari Adipati Tuban kala itu, Ario Tejo. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Dewi Condrowati adalah putri dari Prabu Kertabumi, sedangkan Ario Tejo adalah ayah angkat.


Usia Remaja

Semenjak kecil, Sunan Bonang hidup dalam lingkungan yang agamis di bawah asuhan Sunan Ampel. Ketika menginjak usia remaja, Sunan Bonang berangkat ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji. Dalam perjalanan beliau banyak singgah untuk menuntut ilmu kepada para ulama. Salah satu persinggahan Sunan Bonang adalah Negeri Pasai di Aceh. Di sana beliau berguru dengan Syeh Maulana Ishak yang merupakan bapak dari Sunan Giri.


Berdakwah dari Kediri hingga Demak

Masjid Agung Demak, Tempat Sunan Bonang Berdakwah Melalui Seni dan Sastra
Masjid Agung Demak, tempat Sunan Bonang pernah berdakwah menggunakan media seni dan sastra
(sumber: bisnisindonesia.id)

Sunan Bonang memulai dakwahnya di Kediri. Di sana, Beliau mendirikan langgar di pinggiran sungai Brantas dan berhasil mengislamkan Adipati Kediri kala itu. Kemudian Sunan Bonang pindah ke Demak yang kala itu merupakan kerajaan Islam (Kesultanan Demak). Beliau kemudian diamanahi menjadi imam masjid Demak. Selama bermukim di Demak, beliau menciptakan alat musik bonang untuk menarik perhatian masyarakat. Sambil memainkan bonang, Sunan Bonang melantunkan tembang-tembang bernuansa dakwah. Sunan Bonang menyebarkan ajaran Islam tidak hanya di satu tempat melainkan berpindah-pindah. Beliau juga diketahui pernah menetap dan berdakwah di berbagai tempat seperti di Rembang, Tuban, hingga Madura.



Mendapat Nama Sebutan Sunan Bonang

Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul nama Sunan Bonang yang ditujukan kepada Raden Maulana Makdum Ibrahim. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa kata bonang berasal dari kata babon dan menang yang berarti induk dari kemenangan. Hal ini didasari oleh kesaktian Sunan Bonang dalam ilmu bela diri pencak silat sehingga seringkali meraih kemenangan dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Pendapat lainnya mengatakan bahwa bonang merupakan nama dari salah satu alat musik yang diciptakan oleh Sunan Bonang sebagai salah satu instrumen dalam perangkat musik gamelan. Bonang biasanya terbuat dari logam kuningan berbentuk seperti mangkuk tertutup dengan tonjolan di bagian atas dan lubang di bagian bawah. Tonjolan tersebut dapat mengeluarkan bunyi merdu yang dapat memikat hati pendengarnya ketika dipukul dengan kayu.

Sedangkan pendapat lainnya menyebutkan bahwa Bonang adalah nama daerah di mana Raden Makdum Ibrahim pernah bermukim. Daerah tersebut hingga kini masih bernama Desa Bonang, yang terletak di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

Instrumen Bonang dalam Permainan Musik Gamelan
Instrumen bonang dalam permainan musik gamelan
(sumber: rihatululya.blogspot.com)

Wafat pada Tahun 1525

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 saat berumur 60 tahun.  Terdapat perbedaan keyakinan mengenai di mana jasad Beliau dikebumikan. Dua pendapat terkuat meyakini bahwa Sunan Bonang dimakamkan di kediamannya di Desa Bonang. Pendapat kuat lainnya menyatakan bahwa di Desa Bonang hanya terdapat pasujudan atau tempat sujud Sunan Bonang, sedangkan makam  Sunan Bonang terdapat di Kelurahan Kutorejo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Di samping itu, terdapat pula pendapat yang meyakini bahwa Sunan Bonang dimakamkan di Pulau Bawean serta Pulau Madura. Hingga kini, semua makam Sunan Bonang tersebut kerap diziarahi oleh masyarakat.

Makam Sunan Bonang
Makam Sunan Bonang di Kutorejo, Tuban, Jawa Timur
(sumber: Indonesiakaya.com)


Syiar dan Syair

Dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, Sunan Bonang terkenal akan gaya dakwahnya yang memanfaatkan kesenian dan kesusastraan. Sunan Bonang piawai mendalang serta menciptakan alat musik bonang yang dapat mengeluarkan suara yang indah. Hal ini kemudian menarik hati dan keingintahuan masyarakat. Orang-orang yang penasaran kemudian datang berkumpul menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Sunan Bonang. Saat itu Sunan Bonang memulai tembangnya yang disisipi ajaran-ajaran Islam. Selain menyanyikan tembang, Sunan Bonang juga menggubah beberapa suluk dan menulis kitab tasawuf. Melalui metode dakwah tersebut, Sunan Bonang dapat menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat tanpa adanya paksaan.
Salah Satu Halaman Suluk Wujil
Salah satu halaman Suluk Wujil karya Sunan Bonang.
(sumber: Perpusnas.go.id)

Kidung Bonang

Kidung Bonang merupakan karya sastra berbentuk mantra yang diyakini beberapa pihak sebagai ciptaan Sunan Bonang. Kidung ini berisi doa-doa yang bertujuan untuk menolak bala dan hal-hal negatif yang dapat merugikan manusia. Kandungan dalam kidung ini dianggap mirip dengan Kidung Rumekso ing Wengi karya Sunan Kalijaga. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan mengingat Sunan Kalijaga adalah salah satu murid dari Sunan Bonang yang tentu mewarisi ilmu dari gurunya.

Baca juga: Kidung Bonang, Mantra Penolak Bala Gubahan Sunan Bonang



Suluk Wujil

Suluk merupakan suatu karya kesusastraan yang berkaitan erat dengan budaya Jawa. Pada masa peralihan kehidupan religius dari Hindu-Budha menuju Islam, masyarakat kehilangan tokoh pujangga hebat seperti Mpu Tantular. Kala itu, Sunan Bonang hadir mengisi kekosongan tersebut dengan membawa karya-karya sastra dengan nafas baru. Salah satunya adalah Suluk Wujil.

Suluk Wujil merupakan karya sastra suluk yang terdiri dari 11 larik, berisikan tentang kisah seorang murid bernama Wujil yang menempuh pendidikan dan pencarian hakikat agama. Meskipun terdiri dari 11 larik, namun hanya 10 larik yang ditemukan. Terdapat satu larik yang hilang, yakni larik kesepuluh. Beberapa ahli berpendapat bahwa larik yang hilang tersebut merupakan antitesis dari larik-larik sebelumnya.

Selain memuat ajaran baru, pembaruan dalam Suluk Wujil juga dapat dirasakan pada pemilihan diksinya. Karya sastra kala itu kerap menggunakan bahasa tingkat tinggi atau bahasa Jawa Kawi yang hanya dapat dipahami oleh kalangan terbatas. Sedangkan Sunan Bonang menggunakan bahasa Jawa Madya dalam menulis Suluk Wujil. Dengan begitu, pesan yang ingin disampaikan oleh suluk tersebut dapat lebih mudah ditangkap dan dimengerti oleh masyarakat secara luas.

Baca juga: Naskah Suluk Wujil Karya Sunan Bonang


Tembang Tombo Ati

Tembang Tombo Ati adalah salah satu tembang gubahan Sunan Bonang yang hingga kini masih sering dilantunkan di masjid dan surau. Tombo Ati atau Obat Hati merupakan tembang yang berisi nasihat untuk meraih ketenangan hati dan pikiran serta kedamaian hidup. Bunyi tembang Tombo Ati dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
Tamba ati iku lima ing wernane
Kaping pisan, maca quran angen-angen sak maknane
Kaping pindho, salat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang sholeh kancanana
Kaping papat, kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima, zikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sapa bisa anglakoni
Insyaallah, Gusti Allah nyembadani
Terjemahan tembang Tombo Ati dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
Obat hati itu ada lima macamnya
Yang pertama, membaca Al Quran dan memahami maknanya
Yang kedua, laksanakan salat malam
Yang ketiga, berkumpul dengan orang soleh
Yang keempat, perut dalam keadaan lapar (memperbanyak puasa)
Yang kelima, memperpanjang zikir di malam hari
Salah satunya siapa yang bisa menjalankannya
Insyaallah, Gusti Allah akan mengabulkan

Lima abad setelah tembang ini diciptakan, penyanyi religi Indonesia bernama Opick kembali mempopulerkan tembang ini dalam albumnya yang bertajuk Istigfar. Hingga saat ini, dapat dibilang bahwa tembang Tombo Ati adalah tembang Jawa paling populer di Indonesia.

Sampul Album Istigfar
Tembang Tombo Ati kembali dipopulerkan oleh Opick dalam album Istigfar
(sumber: wikipedia.org)


Primbon Sunan Bonang (Het Boek van Bonang)

Primbon Sunan Bonang atau yang juga dikenal dengan sebutan Het Boek van Bonang merupakan manuskrip sastra nusantara yang terbilang tua. Sayangnya, naskah asli dari kitab ini tidak ada di nusantara, melainkan berada di Universitas Leiden, Belanda. 

Mulanya manuskrip tersebut berada di Tuban, seseorang bernama Damaius kemudian membawa manuskrip Primbon Sunan Bonang ke Belanda pada abad ke 16. Oleh Damaius, manuskrip tersebut kemudian diserahkan kepada gurunya, Prof. Bonaventura Vulcanius, yang merupakan seorang profesor bahasa Latin dan Yunani serta seorang penyair.

Selama kurang lebih dua abad, manuskrip Primbon Sunan Bonang tersimpan sebagai koleksi pribadi Sang Profesor. Pada tahun 1870, manuskrip ini dihibahkan kepada perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Di kemudian hari, seorang profesor etnologi Universitas Amsterdam bernama Bertram Johannes Otto Schrieke menerjemahkan serta mengalihaksarakan manuskrip Primbon Sunan Bonang ke dalam bahasa Belanda. Manuskrip tersebut sebenarnya tidak memiliki judul dan tidak diketahui siapa penulisnya. Schrieke menamakannya Het Boek van Bonang (Bukunya Sunan Bonang) berdasarkan keterangan di akhir manuskrip yang berbunyi "tamat carita cinitra kang pakerti pangeran ing Benang" dan menerbitkannya sebagai disertasi pada tahun 1916. Pada tahun 1969, seorang pengarang Belanda bernama Gerardus Willebrordus Joannes Drewes menerjemahkan ulang Primbon Sunan Bonang dan memberi judul The Admonitions of Seh Bari (Ajaran Syekh Bari). Penamaan ini berdasarkan pada isi dari manuskrip yang berupa dialog antara Syekh Bari dan muridnya.

Buku Het Boek van Bonang
Sampul buku Het Boek van Bonang terjemahan Schrieke
(sumber: Amazon.co.jp)


Seperti kitab primbon lainnya yang digunakan sebagai sumber rujukan dalam budaya Jawa, Primbon Sunan Bonang juga menjadi rujukan dalam menjalankan agama Islam. Primbon ini membahas ajaran-ajaran islam secara luas. Mulai dari ajakan untuk berbuat baik, pedoman ibadah, senantiasa taat pada Allah dan Rasul, hingga kritik terhadap ulama-ulama atau aliran-aliran Islam yang dianggap menyimpang dan sesat oleh Sunan Bonang.

 
Layanan Pracetak LNTRA

Karya Sastra Lainnya

Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi karya-karya sastra yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai karya Sunan Bonang. Karya-karya tersebut antara lain Suluk Khalifah, Gita Suluk Latri, Suluk Gentur/Bentur, Gita Suluk Wali, Suluk Jebeng, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, dan Suluk Wasiat. (inSastra.com/Amry Rasyadany)


Daftar Pustaka


Seri Artikel Para Pujangga

No comments

Salam pegiat sastra .....

Bagaimana tanggapan Anda mengenai tulisan di atas?
Berkomentarlah dengan bahasa yang santun dan berikan manfaat untuk sesama.

Kami juga menerima kritik dan saran yang membangun, serta pertanyaan seputar kesusastraan. Mari bersama membentangkan wawasan kesusastraan.